Sesama Muslim Adalah Saudara

Jumat, 07 Oktober 2016

tahukah anda wahai para istri !!! Ternyata Istri Boleh Mengambil Uang di Dompet Suami Tanpa Izin, Bila suami anda .....??

Pernahkah anda mendengar mitos tentang larangan seseorang istri mengambil duit dari dompet suaminya tanpa ada seijinnya karena itu dapat menghilangkan rejeki suami? Apabila dijelaskan secara agama, memanglah hal itu tak bisa.


Namun dalam kondisi yang tertentu bolehkah seorang istri mengambil harta suaminya? Contoh ketika suami pelit dalam soal nafkah. Istri akhirnya mengambil uang dari dompet suami diam-diam.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata kalau Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, sudah datang bersua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya Abu Sufyan itu orang yang begitu pelit. Ia tak berikan kepadaku nafkah yang memenuhi dan mencukupi anak-anakku hingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika saya lakukan seperti itu? ”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مِن�' مَالِهِ بِال�'مَع�'رُوفِ مَا يَك�'فِيكِ وَيَك�'فِى بَنِيكِ

“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut. ” (HR. Bukhari, no. 5364 ; Muslim, no. 1714)

Baca Juga : Mengajak Jalan-Jalan Istri, Pahalanya Lebih Besar Dari Satu bulan I'tikaf di Masjid Nabawi?

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan kalau mengambil lewat cara yang ma’ruf, tujuannya yaitu sesuai sama kandungan yang diperlukan dengan cara ‘urf (menurut rutinitas setempat). (Fath Al-Bari, 9 : 509)

Butuh dipahami kalau sifat yang dimaksud Hindun pada suaminya Abu Sufyan, kalau suaminya itu pelit, bukanlah berarti suaminya memang orang yang pelit pada siapapun. Mungkin saja ia berlaku seperti itu pada keluarganya, tetapi ada barangkali yang lebih membutuhkan hingga ia dahulukan. Jadi, kurang pas bila berasumsi Abu Sufyan yaitu orang yang pelit secara mutlak. Sekian papar Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhah Al-‘Allam, 8 : 159.

Faedah yang dapat dipetik dari hadits di atas :

1. Hadits di atas menunjukkan akan wajibnya nafkah seorang suami pada istrinya. Bahkan hal tersebut jadi ijma’ (perjanjian para ulama).

2. Hadits diatas juga tunjukkan seorang bapak harus berikan nafkah pada anaknya. Keharusan nafkah ini ada selama anak itu : (a) masih kecil, (2) baligh tetapi dalam kondisi sakit atau masih belum mampu mencari nafkah. Bila anak itu telah baligh dan telah dapat dalam mencari nafkah, jadi gugurlah keharusan nafkah dari bapak.

Tetapi hadits Hindun ini menunjukkan kalau kewajiban nafkah seorang bapak yaitu dengan cara mutlak selama anak-anak itu dalam kondisi fakir. Ia harus berikan nafkah pada mereka, tak melihat disini apakah mereka sudah baligh atau telah dalam kondisi kuat (mencari nafkah).

3. Bila ada suami yang miliki keharusan berikan nafkah pada istri lalu tak di beri lantaran karakter pelitnya, jadi istri bisa mengambil hartanya tanpa ada sepengetahuannya. Lantaran nafkah pada istri itu wajib.
Beberapa ulama juga mengglobalkan hal semacam ini, bukan hanya tentang nafkah. Termasuk juga hal yang lain yang ada di situ keharusan berikan, tetapi tak dipenuhi dengan baik.

Bermakna hal semacam ini tak berlaku bila nafkah istri tercukupi dengan baik.

4. Besar nafkah yang dikira serta
mencukupi itu seperti apa, ini tergantung pada tempat serta saat.

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang pas serta lebih benar seperti yang dinyatakan oleh umumnya ulama (baca : jumhur) kalau nafkah suami pada istri kembali ke rutinitas orang-orang (kembali ke ‘urf) serta tak ada besaran spesifik yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu tidak sama sesuai sama perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri serta kebiasaan yang ada. ” (Majmu’ Al-Fatawa, 34 : 83)

5. Bila lihat dari pandangan ulama Hanafiyah, hadits ini tunjukkan kalau yang jadikan standard besarnya nafkah yaitu apa yang di rasa cukup oleh istri. Lantaran dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pada Hindun, silahkan ambillah harta suaminya yang mencukupinya.

Tetapi yang terbagus kita katakan kalau besarnya nafkah itu diliat dari kekuatan suami serta kecukupan istri, yakni melihat dua iris pihak.

Dijelaskan dalam ayat,

لِيُن�'فِق�' ذُو سَعَةٍ مِن�' سَعَتِهِ وَمَن�' قُدِرَ عَلَي�'هِ رِز�'قُهُ فَل�'يُن�'فِق�' مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ

“Hendaklah orang yang dapat berikan nafkah menurut kemampuannya. Serta orang yang disempitkan rejekinya sebaiknya berikan nafkah dari harta yang didapatkan Allah padanya. ” (QS. Ath Tholaq : 7).

عَلَى ال�'مُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى ال�'مُق�'تِرِ قَدَرُهُ

“Orang yang dapat menurut kemampuannya serta orang yang miskin menurut kemampuannya (juga). ” (QS. Al-Baqarah : 236).

Dikompromikan dengan hadits kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berkata pada Hindun,

خُذِى مَا يَك�'فِيكِ وَوَلَدَكِ بِال�'مَع�'رُوفِ

“Ambillah dari hartanya yang dapat memenuhi kebutuhanmu serta anak-anakmu dengan kandungan sepatutnya. ” (HR. Bukhari, no. 5364).

Dalil-dalil diatas tunjukkan kalau yang jadi patokan dalam soal nafkah :

- Memenuhi istri serta anak dengan baik, ini tidak sama bergantung kondisi, tempat serta jaman.
- Diliat dari kekuatan suami, apakah ia termasuk juga orang yang dilapangkan dalam rizki atau mungkin tak.

6. Bila istri masihlah dapat memperoleh kecukupan dari harta suami (walau nanti ia mengambil diam-diam), jadi tak bisa menuntut untuk pisahlah (cerai). Jadi cerai tidaklah jalan keluar dari sulitnya nafkah.

7. Bila seseorang isteri menyampaikan suaminya untuk memohon nasehat seperti yang dikerjakan oleh Hindun, itu tak termasuk juga ghibah.

8. Bisa mendengar pengucapan dari wanita bukanlah mahram saat ia tengah memerlukan fatwa atau penjelasan dalam permasalahan hukum. Hal semacam ini dengan prasyarat sepanjang aman dari fitnah (godaan) serta tak dengan nada yang mendayu-dayu. Misalnya, masihlah bisa terima telephone dari pria sepanjang tak ada godaan serta tak dengan nada mendayu-dayu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَس�'تُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَي�'تُنَّ فَلَا تَخ�'ضَع�'نَ بِال�'قَو�'لِ فَيَط�'مَعَ الَّذِي فِي قَل�'بِهِ مَرَضٌ وَقُل�'نَ قَو�'لًا مَع�'رُوفًا

“Hai isteri-isteri Nabi, anda sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, bila anda bertakwa. Jadi jangan sampai anda tunduk dalam bicara hingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya serta ucapkanlah pengucapan yang baik. ” (QS. Al-Ahzab : 32)

Mudah-mudahan wawasan kita makin bertambah serta bisa menggerakkan kehidupan seperti yang di ajarkan oleh Rasulullah serta kitab suci Al Qur'an.

sumber : http://www.wajibbaca.com/

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

0 komentar:

Posting Komentar